Detik jam menunjukan pukul tujuh lewat limapuluhtiga menit. Walaupun aku bukan ahli matematika, aku berani menjamin sudah setengah jam aku di sini. Mataku masih asik menerawang setiap jengkal ruangan ini, berbagai pajangan penghargaan menempel gagah di setiap sudut, cukup menjelaskan glorifikasi kantor ini. Tempat ini seperti kantor pada umunya, hanya saja sangat sepi, aku bahkan beberapa kali menyadarkan ingatan bahwa ini kantor bukan kuburan. Ada beberapa kursi kosong yang menemaniku. Pukul delapan lebih semenit ac yang menyala membuat perutku semakin lapar, maklum aku belum sempat sarapan ketika berangkat.
“kantor apa kuburan nih?” gumamku. Ini adalah perusahaan kesekian yang aku datangi, rasanya sudah lelah menyandang predikat jobseeker, ditambah kicauan ibu yang selalu muncul ketika menyapu pada pagi hari.
“silakan ikuti saya mas” suara itu memcah lamunanku.
“iya mba” balasku.
Seorang wanita yang kuterka usianya tak jauh beda denganku, belakangan kuketahui dia lebih tua. tanpa berfikir panjang aku langsung sigap mengikuti langkahnya bagai itik takut kehilangan induknya. Pepatah mengatakan “Itik yang tak berani berjalan disamping Induknya berakibat tidak dapat melihat wajahnya”, aku tak sempat melihat wajahnya, karena dia seakan tak mau dipandangi lama-lama. Kalau dari suaranya cukup lembut, tapi masih lembut suara limbad. Gerakan kakinya santai seperti tak ada beban, berbanding terbalik dengan pikiranku yang dituntut segera mendapatkan pekerjaan, tak lama berselang mataku fokus kearah kakinya. Wanita itu hanya memakai sendal. Aku masih ber-positive thinking, antara jempolnya yang cantengan atau memang perusahaan ini sangat santai, tapi melihat wanita yang memakai kemeja kerja dan bawahan sendal jepit bak melihat Avenged Sevenfold duet dengan Saiful Jamil, bisa si tapi tak enak didengar dan merusak pemandangan. Belum selesai pikiranku membahas jempolnya.
“Silakan mas” suara itu muncul lagi, lagi-lagi memecah lamunanku. Heran hobi sekali dia memecah lamunan seseorang.
“oh iya, makasih mba” balasku.
Setelah itu dia pergi. Tanpa aku tahu wajahnya dan namanya.
“Kamu mau nggak, jadi pacarku?” tanyaku
“ iya, kita jalanin aja dulu” jawabnya.
Kini aku duduk disebuah cafe yang terbilang sepi, hanya ditemani dua piring dua gelas, dan sosok wanita bersadal. Berbeda dengan waktu itu kini aku tahu namanya dan tentu wajahnya. Iya kalau kalian penasaran kenapa aku bersama dia hari ini. Tolong siapkan telinga kalian baik baik. She is my girlfriend. Walaupun TOEFL-ku hanya 410, tapi aku sangat sadar bahwa bahasa Indonesianya dia pacarku.
Sebelum pada sampai titik ini aku bukan tanpa perjuangan. Ibarat turnament sepakbola akupun memulai dari babak penyisihan, mengalahkan lawan hingga sampai dititik final ini. Bukan tanpa alasan aku memilihnya sebagai kekasih, pribadi mandiri, kuat dan sederhana nampaknya masih menjadi kriteria idamanku. Parasnya sangat wanita jawa sekali, mirip gula aren, tapi sayang dia tak suka makanan manis. Sosok wanita tangguh yang ketika diatas motor sering kali tak menutup dadanya dengan jaket. Sosok wanita sederhana yang menjalani harinya yang berat hanya dengan sandal. Sosok wanita mandiri yang punya tabungan di BCA.
“jadi hari ini kita sudah resmi?” tanyaku dengan malu
“iya” jawabnya dengan lebih malu ditambah senyuman diwajahnya.
“okeh” kataku seraya kugenggam tangannya kembali.
Hari itu aku berjanji kepada semesta akan selalu membuat lengkung senyum di wajahnya.